Selama sebulan terakhir ini, saya bergabung dalam milis ‘Penulis Lepas’, sebuah forum dunia maya yang membahas segala hal yang berhubungan dengan dunia penulisan, mulai dari teknik menulis hingga kiat menerbitkan buku. Banyak hal yang bisa dipelajari dari keanggotaan saya dalam forum tersebut, untuk itu saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya diperbolehkan bergabung menjadi anggota milis tersebut.
Kebanyakan anggota milis yang aktif tersebut adalah orang-orang profesional yang telah menjadikan kegiatan menulis sudah menjadi bagian hidup. “Writing is a part my life”, demikian motto Pak Jonru sang admin milis. Sebagian penulis lain, sudah menganggap menulis sebagai istri keduanya – (mungkin dulu nikahnya pake ijab siri ya? hehehehe)
Jika dibandingkan dengan mereka, saya bukanlah termasuk orang-orang yang ingin mendedikasikan diri berkarier dalam dunia penulisan. Bagiku menulis adalah terapi jiwa yang murah dan mengasyikan. Saat sendirian, menulis dapat menjadi media untuk mengungkapkan isi hati ini dengan lebih jujur - yang mungkin tidak dapat dilakukan apabila disampaikan dalam bahasa lisan. Saat sedang emosi, menulis dapat membantu saya untuk dapat menata emosi dan logika kerja pikiranku.
Tapi terkadang menulis tidaklah hanya untuk mencari kesenangan diri namun kegiatan tersebut diperlukan saat mengerjakan tugas-tugas dinas di kantor yang output pekerjaannya berhubungan erat dengan publikasi, copywriter, dan pekerjaan lain yang membutukan keahlian menulis. Bagi penulis amatiran macam saya, menulis dengan baik benar dan benar merupakan tugas yang berat terutama saat saya tidak memiliki ide tulisan.
Beberapa kali hasil tulisanku masih sangat mentah dan jauh dari kata rampung….. Kenapa bisa? Bukankan selama ini saya memiliki waktu yang cukup untuk menulis, bahkan fasilitas yang dimiliki sudah lebih dari memadai. Saya tidak bisa membayangkan apabila teknologi komputer dan MS-Word belum diketemukan pada saat ini, tentunya saat ini saya harus mengetik dengan mesin ketik. Mungkin berapa lembar kertas yang terbuang sia-sia hanya untuk menutupi kelemahanku dalam menulis.
“Menulis…menulis… menulis….!!!”
Demikian nasehat Jonru dalam milis tersebut agar kita trampil menulis. Menulis butuh praktek sebagaimana belajar bersepeda. Namun yang kurasakan kali ini sangatlah berbeda dengan saat bersepeda. Saat bersepeda yang perlu dilakukan hanyalah sekuat-mungkin mengayuh pedal sepeda dan mengendalikan stang untuk menjaga sepeda tetap berdiri. Sedangkan saat menulis, selain berlatih menulis tetap saja membutuhkan bahan yang dapat digunakan saat menulis. Bagaimana bahan-bahan tulisan yang ada diawang-awang pikiran kita, kita olah selanjutnya dimanajemen sedemikian rupa hingga menjadi rangkaian kata yang memiliki makna.
Ada sebuah kisah yang mungkin berhubungan dengan artikel ini. Kemaren, saya menemukan sebuah buku diary yang berisi tulisan-tulisanku semasa SMP-SMA dulu. Setelah sekian lama tidak membacanya, saya merasa geli sendiri saat membaca kembali tulisan-tulisan saya yang banyak bercerita tentang kejadian-kejadian jaman dulu seperti pengalaman saat kemah pramuka hingga urusan cinta-cintaan ala anak sekolah. Walaupun saat itu masih remaja, boleh nyombong sedikit ternyata gaya penulisannya agak-agak mirip ‘chicken soup of soul’ yang alirannya rada-rada ‘ndangdut’ dengan beberapa kosa katanya antara lain sepiring berdua, gubuk derita, nasib anak PNS hehehehehe…..
Terlepas dari kualitasnya, yang membuatku sedikit apresiasi ternyata saat dulu saya begitu mudahnya dalam hal mengungkapkan segala isi hati. Tak terasa rangkaian kata yang berhasil disusun ternyata rata-rata panjang tulisannya mencapai 2-3 halaman buku, apabila dihitung mungkin ‘word count’-nya mungkin lebih dari 4.000 karakter.
Sedangkan saat ini, hanya menyusun sebuah artikel hanya sebanyak 1 halaman saja dibutuhkan perjuangan besar untuk dapat menyelesaikannya. Saya menyadari setelah sekian lama lulus dari bangku SMA saya tidak lagi melatih kemampuan menulisku. Untuk memulainya kembali, tentu saja dibutuhkan energi yang besar sebagaimana energi yang dibutuhkan untuk menggerakan momentum mobil bergerak. Di samping itu waktu yang ada tidaklah seleluasa apabila dibandingkan saat dulu sewaktu belum bekerja dan berkeluarga. Namun yang menjadi pertanyaannya, jika tidak sekarang – kapan lagi?
"Never too late for learning."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar