Meniti tangga kemuliaan


Kita mungkin mudah untuk terperangkap dalam rutinitas, aktivitas, kesibukan hidup dimana kita bekerja keras untuk menaiki tangga demi tangga kesuksesan dalam hidup ini. Tapi pernahkah terpikirkan bahwa mungkin saja tangga tempat kita berpijak tersebut bersandar pada dinding yang salah?

Setiap orang sebenarnya mempunyai keinginan untuk meraih keberhasilan dalam hidupnya. Hanya orang-orang yang berputus asa yang tidak ingin berhasil dalam hidup. Orang sering merasa mendapatkan dirinya telah mencapai keberhasilan atau pengakuan lebih tinggi atas upaya yang dikerjakannya. Seorang staf pelaksana bekerja sebaik mungkin agar bisa sukses dipromosikan menjadi manajer atau malah menjadi direktur suatu perusahaan sekalian. Seorang politikus berupaya mengembangkan pengaruhnya ke banyak pihak untuk bisa memperoleh mandat kekuasaan. Bahkan seorang koruptor berupaya untuk mempertahankan sumber-sumber pendapatan haramnya dan menyembunyikannya agar sukses bisa dinikmati sampai tujuh turunan.

Setiap orang memiliki definisi ukuran kesuksesan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sebagian orang menganggap kesuksesan identik dengan kekayaan, kemasyuran, kekuasaan, kecantikan atau sebagainya. Itu semua tidak salah, hanya apakah dorongan untuk mendapatkan cita-citanya justru membutakan esensi terhadap hal-hal yang sebenarnya terpenting dan malah mengaburkan tujuan hakiki. Terkadang kita hanya meraih kemenangan semu yang diperoleh dengan mengorbankan hal-hal yang justru jauh lebih berharga.

Pernahkah kita merenung untuk apa kita dilahirkan dan pernahkah kita tersadar pada suatu saat nanti kita akan dimatikan, sehingga kita akan berpisah dengan segala sesuatu yang telah kita miliki. Kalau sudah begitu percuma saja kita selama ini bersusah payah menggapai segala cita-cita toh pada akhirnya semua itu akan kita tinggalkan begitu saja.
Kalau begitu kita perlu bertanya-tanya mengapa dan untuk apa kita dilahirkan, padahal itu semua tidak diciptakan dengan sia-sia. Dalam keyakinanku tujuan utama kita hidup di dunia sebenarnya hanya untuk mencari keridhoan dari Sang Pencipta semata. Dengan kata lain segala sesuatu yang kita perbuat, impian yang kita kejar, kemapanan yang kita pertahankan dan seluruh sendi kehidupan didedikasikan sebagai manifestasi upaya meraih kehormatan di sisi-Nya.

Nah, dengan merujuk pada tujuan utama itulah kita dapat mengindentifikasi antara tujuan dan peran. Dalam hal ini pengertian tujuan adalah suatu kondisi yang menjadi harapan dan alasan bagi seseorang untuk melakukan tindakan. Sedangkan peran merupakan sikap dan tindakan yang harus dilakukan seseorang dan ditunjukan pada orang lain untuk menjaga keberadaannya. Sebagai contoh mahasiswa kedokteran menjalankan perannya dengan belajar sebaik mungkin agar kelak bisa kualified menjadi dokter di rumah sakit besar. Sehingga nantinya saat ditempatkan sebagai dokter di puskesmas di daerah terpencil ia akan merasa shock. Akan berbeda hasilnya bila merujuk pada tujuan utama, misi mahasiswa kedokteran untuk belajar didasarkan pada keinginan untuk bisa menyembuhkan orang-orang di manapun ia berada.

Dari situlah kita bisa menyikapi bahwa simbol-simbol kesuksesan yang ada di dunia apapun namanya seperti gelar, pangkat, kekayaan dan lain-lain bukanlah sebagai tujuan utama namun lebih kita anggap sebagai peran yang kita sandang di hadapan orang lain. Bukankah pada akhirnya kita akan mempertanggungjawabkan segala harta, kekuasaan, popularitas, kelebihan dan pengetahuan yang selama ini kita miliki. Dengan demikian setiap orang boleh saja memiliki ambisi untuk mengejar pangkat dan jabatan paling tinggi dalam karir selama itu diorientasikan sebagai sasaran antara untuk mengambil porsi peran lebih besar untuk tujuan kemaslahatan dibandingkan ketika porsi peran yang bisa dilakukan oleh pegawai rendahan. Dengan merujuk pada tujuan hidup yang paling hakiki, kita sikapi hidup ini sebagai suatu proses diri untuk menuju kemuliaan dari Sang Pengatur Kehidupan.

Kita menyadari bahwa hidup sebenarnya merupakan siklus dimana setiap generasi menggantikan peran generasi sebelumnya, maka kita hanya bisa menjalankan peran dengan sebaik-baik mungkin selama giliran kita masih berlangsung. Kita hanya bisa berupaya untuk terus menjaga menjaga kesadaran dan performance kita terus meniti tangga di jalur yang benar hingga tiba saatnya kita baru menyadari bahwa giliran kita akan berakhir.
Pada saat itu kita hanya bisa pasrah menyaksikan ruh ini dicabut dari raga, kita bisa merasa puas dengan meninggalkan makna hidup dan kebanggaan bagi orang-orang yang dikasihi. Tiada bunyi yang terdengar pada saat itu kecuali kita hanya bisa mendengar sayup-sayup suara yang semakin jelas seakan mengantarkan kepergian kita meninggalkan dunia

”Wahai jiwa yang tenang.
Kembalilah engkau kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku,
Dan masuklah ke dalam surga-Ku”

(QS : Al Fajr 27-30)

Itulah titian tangga terakhir menuju kemuliaan yang sejati.....

Tidak ada komentar: