Broken Window


Lalat selalu berkeliaran di tempat-tempat kotor. Begitu pula dengan manusia, lingkungan yang kumuh akan mengundang kejahatan.

Boleh percaya atau tidak, dengan pernyataan di atas. Namun di belahan bumi lain, hal ini telah dibuktikan langsung oleh David Gunn dan William Bratton dalam upaya membasmi kejahatan di kereta bawah tanah (subway) di New York pada tahun 1980-an. Yang menarik keduanya bukanlah aparat kepolisian namun mereka adalah pejabat urusan perkeretaapian.

Pada awal tahun 1980-an, setiap orang selalu was-was saat berjalan-jalan sendirian di New York. Hampir setiap harinya, selalu ditemui korban penodongan, pembunuhan dan pemerasan yang dilakukan oleh anggota genk. Para anggota genk tidak segan-segan melukai bahkan membunuh orang-orang yang menjadi korban penodongannya. Sebut saja setiap tahunnya, kepolisian selalu menerima laporan terdapat 2.000 orang yang menjadi korban pembunuhan dan menerima lebih dari 600.000 korban penodongan. Ironisnya, polisi seakan tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi kejahatan yang semakin merajalela.

Sekitar pertengahan tahun 1980-an, Gunn diangkat menjadi Direktur urusan kereta bawah tanah bersamaan dengan dilantiknya Bratton sebagai komandan keamanan kereta. Pada saat itu, kondisi sosial di lingkungan kereta bawah tanah cukup memprihatinkan. Tingkat kriminalitas di kereta bawah tanah demikian merisaukan sebagaimana ditunjukkan oleh banyaknya orang yang menjadi korban penodongan yang dilakukan secara terang-terangan. Di sisi lain, terjadi kebocoran pendapatan perusahaan kereta yang signifikan akibat banyaknya orang yang berani tidak membeli tiket. Pemandangan di wilayah stasiun sangatlah suram, terdapat banyak grafitti yang dilukis baik di dinding stasiun maupun di gerbong kereta.

Melihat kondisi tersebut, Gunn dan Bratton sepakat untuk mengatasi hal tersebut dari hal-hal yang kecil dan dianggap sepele, yaitu dengan melawan vandalisme aksi corat-coret grafitty di gerbong-gerbong kereta. Banyak orang yang meragukan keberhasilan upaya kedua tokoh ini dalam mengatasi masalah perkeretaapian yang telah demikian ruwet. Apa sudah demikian frustasikah mereka berdua sehingga tidak ada cara heroik yang bisa ditempuh selain usaha bersih-bersih gerbong belaka.

Gunn dan Bratton memiliki pendapat yang berbeda. Jika bisa mengatasi vandalisme maka permasalahan lainnya akan segera teratasi. Keduanya membuat kebijakan, begitu ditemukan gerbong kereta yang dicorat-coret, akan dipisahkan dengan gerbong lain yang bersih dan harus segera dibersihkan.

Gunn mengetahui secara persis dibutuhkan tiga hari kelompok genk untuk melukis gerbong kereta. Hari pertama mereka memberi cat dasar, hari kedua dilanjutkan dengan memasang pola, hingga hari ketiga baru bisa memulai corat-coret. Selama tiga hari mereka dibiarkan melukis gerbong dengan semaunya. Namun pada hari selanjutnya, gerbong tersebut langsung dibersihkan sebelum hasil corat-coretnya sempat dilihat orang lain. Kaum vandalisme demikian frustasi, melihat hasil jerih payahnya seakan sia-sia. Tak lama kemudian aksi corat-coret grafitti hilang dengan sendirinya.

Bersamaan dengan program bersih-bersih gerbong, Bratton dengan bekerja sama dengan pihak kepolisian memimpin program pemberantasan penumpang kereta yang tidak beli tiket. Adanya penumpang gelap merupakan ketidakteraturan yang menjadi pangkal kriminalitas. Berpuluh-puluh orang yang ketahuan tidak beli tiket, ditangkap dan diborgol namun hanya dipermalukan berdiri di depan loket menjadi tontonan orang banyak selama berjam-jam untuk kemudian dibebaskan setelah dicatat identitasnya.

Baru ketahuan, ternyata di antara penumpang-penumpang gelap yang tertangkap tersebut ternyata memiliki kecenderungan kriminal. Di antaranya merupakan buronan Polisi menjadi bersemangat mendukung upaya Bratton, karena dari situlah mereka dapat menangkap pembunuh, penodong, dan anggota genk yang selama ini dicari-cari oleh pihak kepolisian. Setelah itu tingkat kejahatan di kereta bawah tanah demikian merosot tajam. Atas prestasinya, pada tahun 1994 Bratton diangkat menjadi kepala polisi kota New York.

Baik Gunn dan Bratton secara tidak langsung mengaplikasikan teori Broken Window dalam mengatasi masalah kejahatan di kota New York. Teori Broken Window merupakan teori yang dikemukakan oleh krimonolog George Kelling dan Chaterine Coles pada tahun 1996.

Disebutkan dalam teori tersebut bahwa kriminalitas terjadi sebagai akibat dari adanya ketidakteraturan. Semuanya bermula dari, sebut saja adanya jendela yang kacanya pecah yang hanya didiamkan oleh pemiliknya, sehingga akan mendorong para pelaku kriminal lain untuk memecahkan kaca jendela lainnya. Filosofinya kurang lebih seperti ini, jendela pecah yang tidak diperbaiki akan menimbulkan kesan ketidakpedulian yang dapat memicu aksi-aksi vandalisme dan keonaran lain sehingga dapat menyulitkan banyak orang.

Adanya gambar-gambar grafitti yang marak di gerbong kereta, menandakan tiadanya pengendalian yang kuat aparat keamanan untuk menyelenggarakan ketertiban di lingkungan stasiun. Otomatis hal tersebut akan memancing pelaku kriminal lain untuk ikut beroperasi sehingga pada akhirnya stasiun menjadi sarang penjahat mulai dari kelas teri sampai dengan kelas kakap.

Jika berkaca pada demikian kompleksnya permasalahan sosial bangsa ini, jangan-jangan disebabkan oleh ketidakpedulian bangsa ini atas perkara-perkara kecil. Sebagaimana maraknya kasus penggusuran yang disertai dengan aksi kekerasan antara aparat ketertiban dengan korban tergusur semestinya tidak perlu terjadi jika sejak awal pihak berwenang tidak membiarkan penggunaan lokasi-lokasi tak bertuan oleh pihak yang tidak berhak. Bisa jadi membudayanya perilaku korupsi bangsa ini berawal dari sikap tak acuh masyarakat ini membiarkan orang-orang di sekitar kita telah menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan pribadi. Jika yang sepele-sepele tidak mampu diatasi, bagaimana mungkin dapat mengatasi perkara yang besar.

Tidak ada komentar: