Mengasuh anak profesi mulia


Untuk pertama kalinya istriku merajukku supaya diperbolehkan untuk menjadi pekerja kantoran. Dalam kondisi normal, mungkin aku langsung menyetujui proposal yang diajukannya. Secara ekonomi, bisa jadi penghasilan rumah tanggaku akan segera meningkat seiring dengan tambahan penghasilan dari istriku yang bekerja. Secara status sosial, mungkin gengsiku dapat terangkat – suami manapun pasti akan bangga memperistri seorang perempuan yang menarik, dan cerdas lagipula bekerja di suatu perusahaan yang terkemuka.

Namun keinginan tadi langsung kutepis sesaat terbayang wajah-wajah anakku tertua yang baru saja menginjak usia tiga tahun dan adiknya yang masih bayi usia satu tahun.
tanyaku pada istriku
“Apakah masih ada kebutuhan rumah tangga yang masih belum tercukupi?”
“Cukup sih,” timpal istriku “hanya saja dengan adanya tambahan penghasilan kita dapat lebih leluasa beli ini-itu atau bisa dipake untuk memperbesar cicilan dan plafon kredit KPR. Intinya gitu looh, dengan bertambahnya penghasilan keluarga akan memperbesar kesempatan kita untuk memenuhi kebutuhan keluarga.”
“Lalu siapa yang mengurusi anak-anak di rumah?” tanyaku balik pada istriku.
“Kan bisa nyewa baby sister buat momong si-kecil….”

Dari diskusi kecil tersebut, ada hal yang menarik untuk dijadikan bahan renungan. Tidak ada yang salah dengan pendapat istriku, namun setelah dipikir-pikir manfaat yang dirasakan kok lebih banyak dirasakan oleh pihak orang tua dibandingkan kepada pihak anak-anak. Untuk kondisi ekonomi rumah tanggaku, adanya tambahan penghasilan tersebut lebih banyak dibelanjakan untuk konsumsi barang-barang yang lebih bersifat tersier dibandingkan dibelanjakan untuk kebutuhan anak-anak. Untuk saat ini, kebutuhan ekonomi anak-anakku lebih berkisar pada pemenuhan kecukupan gizi dan pengembangan mental-intelektual yang selama ini dengan penghasilan yang ada telah cukup terpenuhi. Jadi menurut hemat saya, kebutuhan tambahan penghasilan gaji dari istriku belum menjadi kebutuhan yang mendesak bagi rumah tanggaku.

Memang disadari segala sesuatu dalam hidup ini menuntut suatu pengorbanan. Menurut pendapatku, pengorbanan terbesar dalam hal ini adalah pengorbanan seorang perempuan yang harus bekerja di sektor publik dengan meninggalkan bayinya seharian demi mencukupi nafkah keluarganya. Memang secara material diakui keberadaan istri yang bekerja sudah pasti dapat menambah penghasilan keluarga. Namun dari sudut pandang yang berbeda, tambahan penghasilan tersebut selamanya tidak akan dapat mengganti hilangnya waktu dan kesempatan seorang ibu untuk mengasuh anaknya yang selamanya tidak dapat digantikan dalam bentuk apapun.

Melalui tulisan ini, bukan berarti saya menentang pendapat yang pro terhadap perempuan bekerja. Menurut saya, hal tersebut tidak bisa disamaratakan antara satu kasus dengan kasus yang lain. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri masih ada seorang ibu rumah tangga yang tidak mampu memberikan kasih sayang dan pendidikan budi pekerti dengan semestinya kepada sang anak. Namun di sisi lain juga terdapat perempuan (yang dalam kacamata saya) dapat sukses berperan sebagai wanita karier sekaligus sukses menerapkan perannya sebagai orang tua efektif dalam mengasuh anak-anaknya. Setiap orang boleh mempertahankan pendapatnya masing-masing.

Namun menurut pendapat saya untuk tahap perkembangan anak usia dini, seorang anak masih membutuhkan keberadaan keluarga sebagai satu-satunya lingkungan sosial yang dimiliki sebagai tempat berlindung dan mencari kasih sayang. Siapa lagi-sih sumber curahan kasih sayang dan perlindungan terbaik yang dibutuhkan oleh sang anak kalau tidak berasal dari orang tuanya sendiri. Profesi pembantu, baby sister, dan the nanny biar dibayar seberapapun masih tetap orang lain di luar lingkungan keluarga yang hanya ditugasi untuk menjaga bayi agar tidak kelaparan dan selamanya tidak dapat memberikan kasih sayang dengan sebenar-benarnya. Miris rasanya, melihat ada anak kecil yang dikala sakit tidak ingin bertemu dengan orang tuanya justru malah ingin selalu berdekatan dengan baby sister-nya.

Pada usia menginjak dewasa kelak, ketergantungan seorang anak akan kasih sayang dari orang tuanya berangsur-angsur berkurang seiring dengan anak menerima limpahan kasih sayang dari lingkungan sosialnya yang dikenalnya baik dalam bentuk pertemanan, persahabatan, atau bahkan hubungan asmara dari lawan jenis.

Saya meyakini adanya karma atas amalan baik yang kita kita kerjakan selama ini pada suatu saat akan mendapatkan balasan yang setimpal. Terus terang hal ini baru saya ketahui setelah saya mempelajari isi kandungan doa yang sering saya panjatkan setelah mengerjakan ibadah sholat yang selama ini saya ucapkan tanpa mengetahui arti terjemahannya. Bacaan doa ini merupakan bacaan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad sebagai munajat memohon kebaikan untuk orang tua kita yang ternyata bersumber dari Al Quran Surat Al-Isra’ 23-24, diterjemahkan sebagai berikut:

“Wahai Tuhanku, kasihanilah kedua orang tuaku sebagaimana keduanya telah mengasuhku sewaktu aku masih kecil.”

Subhanallah, ternyata Allah Swt sampai kapanpun tidak akan menyia-nyiakan segala bentuk kasih sayang yang telah diberikan orang tua kepada anaknya. Untuk itu jadikanlah fase usia dini sebagai momentum bagi orang tua untuk mencurahkan kasih sayang kepada anak dengan sebaik-baiknya.

“Istriku, memang kamu ngga’ sayang membiarkan anak kita diasuh oleh baby sister?” Tanyaku kembali setelah beberapa saat aku dan istriku saling terdiam.
“Sebenarnya kasihan juga sih, mas.” Lirih istriku “Rasanya ngga’ adil juga ya mas. Bukankah pada jaman dulu, orang tua kita-lah yang mengasuh kita dari masih kecil hingga bisa jadi dewasa seperti sekarang ini.”
“Yah, mungkin dengan mengasuh anak-anak kita sendiri,” lanjut istriku “merupakan bentuk balas budi kita kepada orang tua yang kita turunkan kepada anak-anak kita.”

Tulisan ini didedikasikan kepada kedua orang tuaku yang telah membesarkan aku dengan penuh kesabaran.

Tidak ada komentar: